Lambang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam |
1. Pulau Rubiah
Pulau Rubiah-Aceh |
Pada masa Sultanah Ratu Syafiatudin, Tengku Ibrahim adalah salah seorang ulama dan menantu dari Tengku Mustafa yang ada di Iboih Pidie. Tengku Ibrahim adalah salah seorang ulama yang setuju bahwasanya seorang wanita Ratu Syafiatudin itu menjadi Pimpinan Kerajaan pada masa itu, sehingga dianya mengasingkan diri kesebuah Pulau yang disebut Pulau WE.
Setelah menetap beberapa saat di Pulau WE dan mengadakan aktifitas sebagai guru ngaji dan lain-lainnya dan tak berapa lama sang istri yang bernama Siti Rubiah menyusul dan menetap di Pulau WE.
Beberapa tahun setelah Tengku Ibrahim dan Siti Rubiah menetap di Pulau WE , suatu ketika terjadilah selisih paham antara keduanya yang disebabkan karma ketika Siti Rubiah datang ke Pulau WE , dia datang bersama keponakannya dan membawa seekor anjing.
Menurut Tengku Ibrahim memelihara anjing adalah haram dalam Islam, sedangkan Siti Rubiah menganggap anjing itu penjaga dari binatang buas apabila sewaktu-waktu diganggu oleh binatang buas dan mengikut sertakan seoarang laki-laki bersama Siti Rubiah yang bukan muhrimnya itu dilarang dalam agama sehingga terjadilah konflik antara keduanya serta huru hara yang tidak dapat dihindari sehingga terjadilah pertengkaran hebat antara keduanya.
Dari hasil musyawarah dari kedua insane keduanya yang difasilitasi oleh masyarakat sekitarnya karena sudah berlainan faham maka harta kekayaan dibagi dua dengan catatan binatang ternak jadi milik Siti Rubiah sedangkan tumbuh-tumbuhan atau tempat tinggal dibagi menjadi dua lokasi, lokasi pertama di Iboih jatuh untuk Tengku Ibrahim sedangkan yang dipulau sebelahnya menjadi milik Siti Rubiah.
Keindahan Pulau Rubiah-Aceh |
Maka menetapkan Siti Rubiah dipulau tersebut dengan binatang yang selamat dan santri-santri yang ada disekitarnya, untuk kelompok pengajian menuntut ilmu agama dan berawal dari situlah nama Siti Rubiah itu ditabalkan menjadi nama Pulau Rubiah dan ianya adalah salah seorang aulia keramat 44 sampai sekarang masih dipercaya adanya sampai sekarang.
2. Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya Baiturrahman-Aceh |
Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulakan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100% beragama Islam. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali pada tahun 1299 Hijriyah bersamaan dengan kubahnya hanya sebuah saja.
Pada tahun 1935 M, Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Dan pada tahun 1975 M terjadinya perluasan kembali. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dekerjakan dalam tahun 1967 M. Dalam rangka menyambut Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional ke-XII pada tanggal 7 s/d 14 Juni 1981 di Banda Aceh, Masjid Raya diperindah dengan pelataran, pemasangan klinkers di atas jalan-jalan dalam pekarangan Masjid Raya. Perbaikan dan penambahan tempat wudhuk dari porselin dan pemasangan pintu krawang, lampu chandelier, tulisan kaligrafi ayat-ayt Al-Qur’an dari bahan kuningan, bagian kubah serta intalasi air mancur di dalam kolam halaman depan.
Dan pada tahun 1991 M, dimasa Gubernur Ibrahim Hasan terjadi perluasan kembali yang meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri. Bagian masjid yang diperluas,meliputi penambahan dua kubah, bagian lantai masjid tempat shalat, ruang perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan ruang tempat wudhuk, dan 6 lokal sekolah. Sedangkan. perluasan halaman meliputi, taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret.
Keindahan Masjid Raya Baiturrahman-Aceh |
Dilihat dari sejarah, Masjid Raya Baiturrahman ini mempunyai nilai yang tinggi bagi rakyat Aceh, karena sejak Sultan Iskandar Muda sampai sekarang masih berdiri megah di tengah jantung kota Banda Aceh. Mesjid Raya ini mempunyai berbagai fungsi selain shalat, yaitu tempat mengadakan pengajian, perhelatan acara keagamaan seperti maulid Nabi Besar Muhammad SAW, peringatan 1 Muharram, Musabaqah Tilawatil Qur’an (yang baru selesai MTQ Telkom-Telkomsel Nasional), tempat berteduh bagi warga kota serta para pendatang, salah satu obyek wisata Islami.
Waktu gempa dan tsunami (26 Desember 2004) yang menghancurkan sebagian Aceh, mesjid ini selamat tanpa kerusakan yang berarti dan banyak warga kota yang selamat di sini. Kawasan/lingkungan mesjid ini juga dijadikan kawasan syariat Islam, jadi sebaiknya kita jaga dan jangan dikotori oleh perbuatan-perbuatan yang melecehkan mesjid serta melanggar syariat Islam.
Pameran sayembara desain Museum Tsunami
digelar di gedung Aceh Community Center,
dalam pameran ini di pajang 152 desain rencana gedung museum tsunami, di buka
resmi oleh Gubernur Aceh di wakili Asisten II Usman Budiman. Penyelenggaraan
pameran karya peserta sayembara pra rencana Aceh Museum Tsunami merupakan
rangkaian kegiatan dalam rangka mewujudkan sebuah bangunan museum tsunami di
Aceh yang akan menjadi tempat menyimpan, mengenang dan belajar adanya bencana
tsunami.
Pameran dan sayembara design
arsitektur tersebut berlangsung tanggal 13-23 Agustus 2007 sekaligus
mengakomodasi program mewujudkan sebuah bangunan museum tsunami di Aceh sebagai
tempat menyimpan, mengenang dan sarana belajar tentang tsunami secara
keseluruhan.
Pengumuman Pemenang Sayembara
Desain Pra Rencana NAD-Tsunami Museum pada 17 Agustus 2007 di Gedung Sultan
Selim II Aceh Community Center, Banda Aceh. Desain yang berjudul Rumoh Aceh as Escape Hill karya M.Ridwan
Kamil dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) memenangkan sayembara
lomba desain museum tsunami Aceh pada 17 Agustus 2007 di Ruang Sultan Selim II,
Aceh Community Center, Banda Aceh.
Pemenang pertama desain museum
tsunami ini akan pendapat penghargaan Rp 100 juta, pemenang kedua Rp 75 juta,
pemenang ketiga Rp 50 juta, penghargan partisipasi Rp 10 juta untuk 5 disain
inovatif. Kompetisi terbuka bagi semua lapisan masyarakat, perseorangan atau
kelompok.
Pada 12 Juli panitia pelaksana
menerima 222 pendaftar peserta sayembara dan pada 9 Agustus diterima 152 karya
yang dipamerkan sedangkan pengumuman pemenang dilakukan pada 17 Agustus 2007.
Desain Arsitektur Museum Tsunami - Aceh |
Pada tahun yang sama, Museum
Tsunami Aceh mulai dibangun dan diresmikan oleh presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Februari 2009. Pengisian sarana
pendukung dan renovasi Museum Tsunami Aceh dilakukan secara bertahap pada
pertengahan tahun 2010 dan memakan waktu cukup lama dikarenakan banyaknya
materi yang perlu diidentifikasi, dikumpulkan, diseleksi, dan ditampilkan dalam
berbagai media, sehingga pengisiannya selesai pada April 2011 oleh Kementrian
ESDM melalui sumber dana APBN. Museum Tsunami Aceh baru dibuka secara resmi
untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat tepatnya pada 8 Mei 2011.
4. Museum Negeri Aceh
Museum Negeri Aceh adalah tempat yang tidak boleh dilewatkan saat
singgah di Banda Aceh. Terletak di Jalan Alauddin Mahmud Syah, Banda
Aceh, museum ini menyimpan berbagai pernak-pernik peninggalan sejarah
masyarakat Aceh sejak era prasejarah. Disini kita dapat menemukan
berbagai jenis perkakas, peralatan pertanian, peralatan rumah tangga,
senjata tradisional dan pakaian tradisional. Di museum ini kita juga
dapat menemukan berbagai koleksi manuskrip kuno, dokumentasi foto
sejarah dan maket dari perkembangan Masjid Agung Baiturrahman.
Museum ini didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Peresmian dilakukan pada tanggal 31 Juli 1915, oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A Swart. Museum ini dikepalai oleh FW Stammeshaus yang menjabat sebagai Kepala Museum sekaligus Kurator hingga tahun 1931. Pada saat itu, museum ini hanya berbentuk sebuah rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh) yang keberadaannya masih tetap dipertahankan dalam area halaman museum hingga saat ini. Bangunan berbahan dasar kayu ini berbentuk rumah panggung dengan sistem konstruksi pasak yang dapat dibongkar pasang secara fleksibel.
Rumoh Aceh ini sebelumnya dipertunjukkan dalam Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) yang berlangsung di Semarang pada tahun sebelumnya. Dalam pameran tersebut, kebanyakan koleksi di Paviliun Aceh merupakan koleksi pribadi Stammeshaus ditambah berbagai koleksi benda pusaka peninggalan kesultanan Aceh. Dalam pameran ini, Rumoh Aceh memperoleh anugerah sebagai Paviliun terbaik dengan perolehan 4 medali emas, 11 perak serta 3 perunggu untuk berbagai kategori.
Diantara koleksi yang cukup populer dari museum ini adalah sebuah lonceng yang usianya telah mencapai 1400 tahun. Lonceng ini bernama ‘Lonceng Cakra Donya’ yang merupakkan hadiah dari Kaisar Cina dari Dinasti Ming kepada Sultan Pasai pada Abad Ke-15, yang dihadiahkan saat perjalanan muhibah Laksamana Muhammad Cheng Ho. Lonceng ini dibawa ke Aceh saat Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524 M.
5. Kerkhof Peutjoet
Jika kita melihat foto gerbang kerkhoff tempo dulu (foto tahun 1890-1910),
kita bisa melihat bagaimana asrinya pohon-pohon yang ada dilokasi
kerkhoff, seolah olah itu bukanlah kuburan yang menyeramkan, suram, dan
sepi melainkan sebuah taman abadi tempat peristirahatan terakhir para
prajurit Belanda yang sudah bersusah payah mati-matian berusaha
menaklukkan Aceh. Sampai sekarang pun kita bisa melihat bahwa kerkhoff
tidak hanya sebuah kuburan tua saja, tetapi juga sebagai suatu “taman”
sejarah dimana jika kita berada disini kita akan merasakan bagaimana
rasa heroik para pejuang, para pendahulu kita yang telah mempertahankan
setiap jengkal tanah Aceh dari awak kaphe untuk diwariskan
kepada anak cucunya kelak. Ah, lagi-lagi kakek-nenek buyut ku tak
memperdulikan nyawanya demi aku. Benar-benar bukti kasih sayang orang
tua kepada anak.
Selain dari para fotografer yang biasanya menyambangi kawasan ini untuk berburu objek foto, bisa dibilang tidak ada orang lain yang tertarik. Salah satu keuntungan dari ketidak ramaian pengunjung ini adalah lingkungan yang asri. Sampah yang ada hanya daun dari pepohonan tidak ada sampah plastik dan sisa makanan. Lingkungan yang tenang juga menjadikan areal ini layak dijadikan pertimbangan untuk tempat keluarga berwisata sambil menceritakan kehebohan Perang Aceh di masa lalu.
Namun dari ribuan makam berwarna putih yang tampak sangat terawat dan bersih tersebut, di bagian timur kompleks makam terdapat pemandangan lain. Di bawah sebatang pohon yang rimbun terdapat tiga buah makam dengan kondisi memprihatinkan. Rumput-rumput ilalang tampak tumbuh berantakan. Di areal kerkhoff ini terdapat makam Meurah Pupok, dibawahnya terdapat penjelasan mengenai siapakah Meurah Pupok ini: Terkenal dengan sebutan Peutjut, menurut sejarah Meurah Pupok adalah putera Sultan Iskandar Muda. Karena suatu “kesalahan” sultan menghukum sendiri puteranya ini. Sering disebut Pocut (anak kesayangan) kemudian berubah menjadi Peutjut. Pada saat Sultan akan menghukum putranya inilah lahir ungkapan “Mate Aneuk Meupat Jirat, Gadoh Adat Pat Tamita” yang artinya adalah Jika anak meninggal masih ada kuburan yang bisa dilihat, sedangkan jika adat yang hilang, hendak kemana kita mencarinya. Ungkapan ini menunjukan betapa adilnya Sultan Iskandar Muda dalam pelaksanaan hukum Islam yang bahkan dilaksanakan kepada anak lelaki tunggal tersayang.
Rasulullah pernah berkata "Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya" (Riwayat Bukhari). Kunjungan sejenak ke Kerkhoff Peucut ini memberi kita suatu pelajaran dan tauladan yang sangat mengharukan, yaitu ketegasan sultan dalam menerapkan hukum yang seadil-adlinya bahkan terhadap puteranya sendiri.
Dalam bahasa jamee juga ada ungkapan yang hampir sama, ungkapan ini merupakan sebuah bait dari lagu nina bobo masyarakat suku jamee. “Hilang ameh dapek ditimbang hilang anak koma di cai” yang berarti hilang emas bisa ditimbang, hilang anak mau cari kemana. Ah, begitu memorial ditelingaku jika dibacakan bait ini. Benar-benar terasa bagaimana besarnya kasih orang tua terhadap anak.
6. Benteng Indra Patra
Aceh tidak saja menyimpan sejarah tentang kejayaan peradaban Islam semasa Kesultanan Aceh saja. Jauh sebelum Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat Aceh, agama Hindu telah terlebih dahulu berkembang di masyarakat. Salah satu saksi bisu masa keemasan kerajaan Hindu di Aceh adalah Benteng Indra Patra yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Benteng Indra Patra terdiri dari sebuah benteng utama berukuran 4900 meter persegi dan tiga benteng lain yang dua diantaranya telah hancur. Situs arkeologi ini didirikan sekitar tahun 604 M oleh Putra Raja Harsya yang berkuasa di India, yang melarikan diri dari kejaran Bangsa Huna. Keberadaan benteng ini menjadi peninggalan sejarah mengenai proses masuknya pengaruh Hindu dari India ke Aceh. Diperkirakan pada saat itu, Kerajaan Hindu, Lamuri, mulai berkembang di daerah Pesisir Utara Aceh Besar. Benteng ini merupakan satu dari tiga benteng yang menjadi penanda wilayah segitiga kerajaan Hindu Aceh, yaitu Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purwa.
Pakar arkeologi Repelita Wahyu Oetomo, dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya yang berjudul 'Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai' mengungkapkan, secara arsitektur, beberapa bagian benteng memang masih memiliki motif bangunan berciri Pra-Islam. Hal ini terlihat antara lain pada dua sumur di area benteng utama yang berbentuk menyerupai stupa. Dalam aspek fungsionalitas, benteng ini mengalami perkembangan sehingga masih dipergunakan hingga masa Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.
Semasa Kesultanan Aceh, benteng ini berperan besar sebagai salah satu garis pertahanan dalam menghadapi Portugis. Benteng ini direbut dari Portugis oleh Darmawangsa Tun Pangkat (Iskandar Muda). Semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) benteng ini, bersama Benteng Inong Balee, Benteng Kuta Lubok dan beberapa benteng lainnya menjadi pusat pertahanan Aceh terutama dalam menghadang serangan dari arah laut. Posisi benteng yang berhadapan dengan Benteng Inong Balee di seberang timur Teluk Krueng Raya berperan strategis dalam mencegah armada Portugis memasuki Aceh melalui teluk ini.
Salah satu keunikan yang dimiliki benteng ini terletak pada susunan konstruksinya yang kokoh. Kekokohan benteng ini terbentuk oleh struktur penyusunnya yang terbuat dari bongkahan batu gunung yang saling merekat kuat satu sama lain. Rahasianya terletak pada adonan yang merekatkan bongkahan-bongkahan batu gunung tersebut.
Adonan tersebut dibuat dari campuran kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat dan putih telur. Penggunaan putih telur sebagai perekat bangunan seperti ini juga dapat kita temukan di beberapa bangunan kuno lain di Nusantara seperti Candi Borobudur dan Prambanan.
4. Museum Negeri Aceh
Museum Negeri Aceh |
Museum ini didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Peresmian dilakukan pada tanggal 31 Juli 1915, oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A Swart. Museum ini dikepalai oleh FW Stammeshaus yang menjabat sebagai Kepala Museum sekaligus Kurator hingga tahun 1931. Pada saat itu, museum ini hanya berbentuk sebuah rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh) yang keberadaannya masih tetap dipertahankan dalam area halaman museum hingga saat ini. Bangunan berbahan dasar kayu ini berbentuk rumah panggung dengan sistem konstruksi pasak yang dapat dibongkar pasang secara fleksibel.
Rumoh Aceh ini sebelumnya dipertunjukkan dalam Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) yang berlangsung di Semarang pada tahun sebelumnya. Dalam pameran tersebut, kebanyakan koleksi di Paviliun Aceh merupakan koleksi pribadi Stammeshaus ditambah berbagai koleksi benda pusaka peninggalan kesultanan Aceh. Dalam pameran ini, Rumoh Aceh memperoleh anugerah sebagai Paviliun terbaik dengan perolehan 4 medali emas, 11 perak serta 3 perunggu untuk berbagai kategori.
Diantara koleksi yang cukup populer dari museum ini adalah sebuah lonceng yang usianya telah mencapai 1400 tahun. Lonceng ini bernama ‘Lonceng Cakra Donya’ yang merupakkan hadiah dari Kaisar Cina dari Dinasti Ming kepada Sultan Pasai pada Abad Ke-15, yang dihadiahkan saat perjalanan muhibah Laksamana Muhammad Cheng Ho. Lonceng ini dibawa ke Aceh saat Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524 M.
5. Kerkhof Peutjoet
Kerkhof Peutjoet - Aceh |
Kerkhoff Peutjut
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Kerkhoff Peutjut,
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Kerkhoff Peutjut,
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Kerkhoff Peutjut,
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Sejarah mencatat bahwa Belanda memiliki pengalaman pahit di masa lalu ketika ingin menguasai bangsa Aceh. Bukti sejarah itu masih bisa kita saksikan pada hari ini di komplek kuburan militer Belanda di Kota Banda Aceh yang hingga saat ini masih terawat dengan baik. Kompleks kuburan ini lebih dikenal dengan nama Kerkhoff Peucut.
Pemerintah kota Banda Aceh telah merawat dengan baik sekitar 2200 jasad
prajurit Belanda, termasuk serdadu tawanan yang dibawa dari Ambon dan
Pulau Jawa, pada saat Belanda memerangi Aceh 26 Maret 1873 sampai 1942.Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sahibulkiram/kerkhoff-peutjut-kuburan-belanda-dan-sebuah-cerita-kasih-sayang-orang-tua-terhadap-anak_552059e8a33311124746ce31
Kerkhof Peutjoet Tempo Dulu (1890-1910) |
Selain dari para fotografer yang biasanya menyambangi kawasan ini untuk berburu objek foto, bisa dibilang tidak ada orang lain yang tertarik. Salah satu keuntungan dari ketidak ramaian pengunjung ini adalah lingkungan yang asri. Sampah yang ada hanya daun dari pepohonan tidak ada sampah plastik dan sisa makanan. Lingkungan yang tenang juga menjadikan areal ini layak dijadikan pertimbangan untuk tempat keluarga berwisata sambil menceritakan kehebohan Perang Aceh di masa lalu.
Pemandangan dalam Kerkhof Peutjut. |
Namun dari ribuan makam berwarna putih yang tampak sangat terawat dan bersih tersebut, di bagian timur kompleks makam terdapat pemandangan lain. Di bawah sebatang pohon yang rimbun terdapat tiga buah makam dengan kondisi memprihatinkan. Rumput-rumput ilalang tampak tumbuh berantakan. Di areal kerkhoff ini terdapat makam Meurah Pupok, dibawahnya terdapat penjelasan mengenai siapakah Meurah Pupok ini: Terkenal dengan sebutan Peutjut, menurut sejarah Meurah Pupok adalah putera Sultan Iskandar Muda. Karena suatu “kesalahan” sultan menghukum sendiri puteranya ini. Sering disebut Pocut (anak kesayangan) kemudian berubah menjadi Peutjut. Pada saat Sultan akan menghukum putranya inilah lahir ungkapan “Mate Aneuk Meupat Jirat, Gadoh Adat Pat Tamita” yang artinya adalah Jika anak meninggal masih ada kuburan yang bisa dilihat, sedangkan jika adat yang hilang, hendak kemana kita mencarinya. Ungkapan ini menunjukan betapa adilnya Sultan Iskandar Muda dalam pelaksanaan hukum Islam yang bahkan dilaksanakan kepada anak lelaki tunggal tersayang.
Rasulullah pernah berkata "Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya" (Riwayat Bukhari). Kunjungan sejenak ke Kerkhoff Peucut ini memberi kita suatu pelajaran dan tauladan yang sangat mengharukan, yaitu ketegasan sultan dalam menerapkan hukum yang seadil-adlinya bahkan terhadap puteranya sendiri.
Dalam bahasa jamee juga ada ungkapan yang hampir sama, ungkapan ini merupakan sebuah bait dari lagu nina bobo masyarakat suku jamee. “Hilang ameh dapek ditimbang hilang anak koma di cai” yang berarti hilang emas bisa ditimbang, hilang anak mau cari kemana. Ah, begitu memorial ditelingaku jika dibacakan bait ini. Benar-benar terasa bagaimana besarnya kasih orang tua terhadap anak.
6. Benteng Indra Patra
Aceh tidak saja menyimpan sejarah tentang kejayaan peradaban Islam semasa Kesultanan Aceh saja. Jauh sebelum Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat Aceh, agama Hindu telah terlebih dahulu berkembang di masyarakat. Salah satu saksi bisu masa keemasan kerajaan Hindu di Aceh adalah Benteng Indra Patra yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Benteng Indra Patra terdiri dari sebuah benteng utama berukuran 4900 meter persegi dan tiga benteng lain yang dua diantaranya telah hancur. Situs arkeologi ini didirikan sekitar tahun 604 M oleh Putra Raja Harsya yang berkuasa di India, yang melarikan diri dari kejaran Bangsa Huna. Keberadaan benteng ini menjadi peninggalan sejarah mengenai proses masuknya pengaruh Hindu dari India ke Aceh. Diperkirakan pada saat itu, Kerajaan Hindu, Lamuri, mulai berkembang di daerah Pesisir Utara Aceh Besar. Benteng ini merupakan satu dari tiga benteng yang menjadi penanda wilayah segitiga kerajaan Hindu Aceh, yaitu Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purwa.
Pakar arkeologi Repelita Wahyu Oetomo, dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya yang berjudul 'Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai' mengungkapkan, secara arsitektur, beberapa bagian benteng memang masih memiliki motif bangunan berciri Pra-Islam. Hal ini terlihat antara lain pada dua sumur di area benteng utama yang berbentuk menyerupai stupa. Dalam aspek fungsionalitas, benteng ini mengalami perkembangan sehingga masih dipergunakan hingga masa Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.
Semasa Kesultanan Aceh, benteng ini berperan besar sebagai salah satu garis pertahanan dalam menghadapi Portugis. Benteng ini direbut dari Portugis oleh Darmawangsa Tun Pangkat (Iskandar Muda). Semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) benteng ini, bersama Benteng Inong Balee, Benteng Kuta Lubok dan beberapa benteng lainnya menjadi pusat pertahanan Aceh terutama dalam menghadang serangan dari arah laut. Posisi benteng yang berhadapan dengan Benteng Inong Balee di seberang timur Teluk Krueng Raya berperan strategis dalam mencegah armada Portugis memasuki Aceh melalui teluk ini.
Salah satu keunikan yang dimiliki benteng ini terletak pada susunan konstruksinya yang kokoh. Kekokohan benteng ini terbentuk oleh struktur penyusunnya yang terbuat dari bongkahan batu gunung yang saling merekat kuat satu sama lain. Rahasianya terletak pada adonan yang merekatkan bongkahan-bongkahan batu gunung tersebut.
Adonan tersebut dibuat dari campuran kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat dan putih telur. Penggunaan putih telur sebagai perekat bangunan seperti ini juga dapat kita temukan di beberapa bangunan kuno lain di Nusantara seperti Candi Borobudur dan Prambanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar